Hari sudah hampir tengah malam, tetapi kantuk belum juga menghinggapi pelupuk matanya. Udara terasa sangat dingin, gadis itu mengancingkan mantel nya hingga ketas. Gesekan sayap-sayap jangkrik di luar sana menimbulkan nyanyian yang merdu. Krriikkk.. krriikkkk.. Krriikkk.. dan sang katak pun tidak mau ketinggalan, mereka berpantun bersahut-sahutan. Dihitungnya satu persatu permata yang bertaburan di langit itu, dan diulanginya terus-menerus, dengan harapan agar kantuk segera menyergap. Dari kejauhan, di langit sebelah timur tampak lah cahaya terang yang melesat dengan sangat cepatnya. Ooh.. itu adalah sebuah bintang jatuh!! Refleks gadis kecil itu memejamkan matanya dan mengucap sebuah doa “Tuhan andai aku bisa hidup lebih lama untuk menghitung bintang dan mendengar mereka bernyanyi setiap malam”
Gadis kecil itu menderita Thalasemia Mayor, suatu penyakit genetik yang diturunkan oleh kedua orangtuanya, penyakit dengan kemungkinan harapan hidup yang terbatas. Dokter memvonis nya hanya bisa bertahan hidup hingga usia 8 tahun. Ia harus rutin melakukan transfusi darah untuk memperpanjang harapan hidupnya, tetapi karena kondisi ekonomi keluarga nya yang morat marit, maka jarang sekali hal itu bisa dilakukan. Gadis kecil itu hanya bisa pasrah akan kondisi hidupnya yang kadang dirasanya tak adil. Ia hanya bisa berdoa agar Tuhan berbaik hati padanya dan memberikan umur yang lebih panjang dari vonis dokter.
Gadis kecil itu menutup jendela kamarnya, mematikan lampu dan segera merangsek masuk ke dalam selimut kumal nya. Dirasakannya nafas nya mulai sesak dan tubuhnya terasa lemas sekali. Sudah 2 bulan ini ia absen transfusi darah, obat-obatan pun sudah tak mau diminumnya, ia sembunyikan di bawah kasur lipatnya. Gadis kecil itu mungkin sudah bosan dengan rasa pahit obat-obatan itu. Disaat teman-teman sebaya nya bebas bermain, berlari, makan permen berwarna warni seperti pelangi, ia lebih banyak harus berdiam diri di rumah dan rutin minum obat. Ya, sudah sebulan ini bapak tersayang nya tidak nukang, sehingga tidak bisa membiayai nya transfusi darah. Bapak tersayang nya hanya bekerja serabutan, lebih sering sebagai kuli bangunan. Pekerjaan itu terpaksa ia lakukan untuk menyambung hidup keluarga kecilnya. Penyakit TBC akut yang diderita nya sejak 4 tahun lalu telah melemahkan fisiknya. Sehingga pekerjaan itu dirasakannya cukup berat. Jasa nya sebagai pemetik buah kelapa telah tergantikan oleh kelihaian monyet-monyet dalam memanjat pohon yang disewa oleh pemilik kebun dengan bayaran yang cukup tinggi. Kalaupun masih ada pemilik kebun yang mau memakai nya, ia diupah sangat rendah. Lebih rendah dari upah monyet-monyet itu.
—
Gadis kecil itu membuka mata nya. Ternyata pagi sudah menjelang. Pendar indah sang rembulan telah tergantikan oleh hangatnya mentari pagi yang menyapa. Kicau burung dan kokok ayam dari luar jendela ramai bersahut-sahutan. Baju tidurnya basah oleh keringat. Nafasnya tersengal-sengal. dan tangannya dirasakan sedingin es. Hari ini sebetulnya ia malas sekali untuk bangkit dari tempat tidurnya, tetapi ia paksakan karena tidak ingin membuat ibunda nya khawatir. Ibunda yang sangat ia sayangi, yang selalu berdoa untuk kesembuhannya di setiap akhir Shalat nya. yang menangis hampir setiap malam tatkala kondisi putri kecil nya drop dan tidak ada biaya untuk berobat.
Gadis kecil itu pergi ke sumur di belakang rumah, menimba air 1 ember kecil untuk nya menyikat gigi dan membasuh wajah. Sudah ia putuskan, hari ini ia akan menjadi gadis kecil yang ceria dan selalu tersenyum. Diintipnya Ibunda nya dari balik pintu, malaikat itu sedang meniup api di tungku. sesekali ia terbatuk-batuk karena asap dari tungku itu. Dihampirinya ibunda tersayangnya itu, Ia mencium pipi ibunda yang sudah nampak banyak kerutan. “bulan sayang ibu” diucapkannya kata-kata itu sambil tersenyum dengan sangat manis. Ibundanya mendekap erat putri kesayangannya itu. Gadis kecil itu dapat mencium bau asap yang sangat menyengat dari baju ibundanya. Bau kerja keras ibunya menyiapkan makanan untuk keluarga. Berkutat di dapur yang sempit dan pengap. Bau kasih sayang seorang Ibu untuk keluarganya. “Ibu.. hari ini bulan ingin dimanja seharian ya” pinta gadis kecil itu. ibundanya mencium kening putri kecilnya, tanda menyetujui.
Malam ini cuaca sangat bagus. Sang purnama telah mencapai fase tercantiknya. Masih setia berdampingan dengan bintang-bintang kecil yang berkilauan di sekelilingnya. Katak dan jangkrik mengambil tempat nya masing-masing dalam konser akbar malam ini. Angin membelai lembut dan membisikkan nada-nada syahdu. Shymponi alam karya sang Maestro. Sang bunda duduk di teras, di bawah naungan temaram sinar rembulan, dan gadis kecil berbaring di pangkuan ibundanya. Mereka saling bercerita dan bersenandung. Sang bunda bercerita, 8 tahun lalu saat bulan kecil akan lahir ke dunia, cuaca pun sebagus ini. Itulah sebabnya putri kecil itu diberi nama “Rembulan”. Sang bunda membelai lembut rambut sang putri kecil, menciumi kening nya dan mendekap erat tubuhnya seakan tidak akan ada hari lain untuk melakukannya. Gadis kecil itu merasakan nafasnya semakin sesak, tubuhnya dingin dan lidah nya kelu. Ia menanggapi setiap cerita ibu nya hanya dengan anggukan dan senyuman. Tak terasa air mata menetes membasahi pipinya. Ia menatap sang bunda dengan dalam dan berkata “Ibu.. bulan masih ingin menghitung bintang…” dan gadis kecil itu pun menutup mata untuk selamanya.
Cerpen Karangan: Mariska Napis
Facebook: https://www.facebook.com/napischa
Bekerja disebuah perusahaan F&B sebagai Sekretaris owner. suka dengan seni dan kerajinan tangan.. crafting, pencil drawing, sewing dan travelling.
0 komentar:
Posting Komentar