Sabtu, 07 Januari 2017

Cerpen "TUHAN SANGAT MENYAYANGIMU"

                        TUHAN SANGAT MENYAYANGIMU
                                             Oleh Krisnada

        Pagi ini masih pagi yang sama, pagi yang masih seperti biasa. Aku memasuki kampusku dengan sepeda motor yang masih sama dan rute yang sama. Aku mengambil jurusan psikologi di universitas yang cukup ternama di negaraku. Aku adalah laki-laki yang pendiam, aku tak punya teman yang benar-benar akrab denganku. Ini adalah jalan yang telah kupilih untuk masa depanku nantinya. Aku sudah berada di kelas sebelum bel berbunyi, aku duduk di bangku bagian tengah dengan hanya sedikit teman yang sudah datang. Keadaan sangat tenang, teman-temanku diam mempelajari modul mereka dan aku hanya memutuskan untuk melihat dan merasakan suasana kelasku.
Hingga derai bel masuk mengagetkanku, semua teman memasuki kelas. Kelas terasa penuh, tak ada satu kursi pun yang kosong. Dosen membuka pintu dan mulai memasuki kelas. “Selamat pagi”. “Pagi” jawab kami semua. “Saya punya tugas untuk kalian, buat hasil laporan penelitian tentang *psikologi seseorang yang mempunyai keterbatasan fisik*. Dikumpulkan akhir bulan ini. Jika ada yang terlambat saya tidak akan mentoleransi”. 
Jam kuliahku usai. Otakku tetap berpikir aku harus kemana untuk mendapatkan seseorang yang mau diwawancara. Aku memutuskan menelusuri jalan-jalan sempit dekat kampus dengan motorku. Hingga sampai tikungan, mataku berhenti pada suatu bangunan yang pekarangannya ramai oleh anak-anak kecil. Kumatikan mesin motorku, ku berjalan mendekati gerbang. Papan yang terletak dekat gerbang tertulis “Panti Asuhan”. Disana ditengah keramaian anak-anak kecil ada seorang wanita berjilbab, kuduga dia berumur 3 tahun dibawahku. Dia tersenyum lebar kepada anak-anak itu, saat ini juga kurasa dalam hatiku ada yang bergejolak, ada perasaan yang tak pernah kurasakan selama ini. Mataku tak bisa berpaling darinya. Dia sungguh manis. Hingga ada seorang anak kecil yang imut menghampirinya dan bertanya padanya, dan tak pernah kusangka dia menjawab pertanyaan anak  kecil itu dengan bahasa isyarat. Baru kusadari bahwa dia tidak bisa bicara, dia seorang tuna wicara dan aku berpikir dia juga tuna rungu. Ada sedikit kesedihan yang sekarang menemani hatiku. Kuputuskan pulang ke kontrakanku, tak seharusnya aku melamunkannya, tak seharusnya aku memikirkan wanita tadi. 
Aku baru tersadar bahwa aku seharusnya mengerjakan laporan penelitianku. Aku berpikir tentangnya, aku berpikir tentang tugasku. Hingga dua pikiran ini menjadi satu. kenapa aku tidak mewawancarainya saja, pikirku.
Hari telah berganti, hari ini aku tidak mempunyai jam kuliah. Aku putuskan kembali ke panti asuhan itu. Pagi ini aku tak melihat keramaian anak-anak kecil. Aku memasuki gerbang, dan di ruang depan ada ibu-ibu setengah baya duduk sambil memandangi pekarangan. Ibu ini pasti adalah ibu panti, pikirku. 
“Permisi bu”, sapaku sopan. 
“Iya anak muda, ada yang ibu bisa bantu ?”. 
“Saya sedang mencari seorang wanita, dia berjilbab, saya kira dia tinggal disini”. 
“Oh… Rara, iya dia tinggal disini, duduk dulu nak, biar saya panggilkan”
Tak lama kemudian, wanita yang disebut Rara keluar. Dia duduk dikursi yang ibu tadi duduki. Dia berbicara padaku dengan bahasa isyarat, tetapi aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku, aku sedikitpun tidak paham apa maksud isyaratnya. Akhirnya dia mulai menulis di note nya dan menyerahkannya padaku, tertulis “Ada apa ? apakah anda mengenal saya ? mengapa anda mencari saya ?”. Aku mulai menulis dibawah tulisannya, “Saya mahasiswa psikologi, saya mempunyai tugas dari dosen, sebelumnya maaf saya ingin mewawancarai anda, apakah anda bersedia?”, kukembalikan note nya. Dia mulai menulis lagi “saya bisa mendengar, silahkan jika anda ingin mewawancara”, dia menyerahkan kembali notenya dengan senyuman dibibirnya.
Untuk kesekian kalinya tak kuduga bahwa dia hanya tuna wicara, tidak tuna rungu. Lantas kenapa dia tidak bisa bicara ?. Aku ingin bertanya itu tapi kurasa itu tidak sopan. Bahkan aku merasa gugup akan mengeluarkan suaraku. “Oh, maafkan saya” dia hanya tersenyum. “Anda tinggal disini ?”, dia mengangguk. “Sejak kapan ?”. Dia menggunakan isyarat menunjukkan angka 12, itu artinya dia tinggal disini sejak berumur 12 tahun. Aku terus melempar pertanyaan padanya, hingga matahari sudah sampai dititik puncaknya. Dia ijin harus pergi ada urusan, jadi ku usai wawancara hari ini. “Baiklah, tapi masih bisakah saya datang kesini besok sore untuk meneruskan wawancara ?”, dia mengangguk dengan manisnya.
Sepulang dari panti asuhan, wajahku terhiasi senyuman yang tak habis-habisnya. Jadi ku ketahui namanya Rara, dia tinggal di panti asuhan sejak berumur 12 tahun, setelah orang tuanya meninggal. Dia adalah seorang penulis novel, dia mendapat penghasilan dari penjualan novelnya. Dia tetap tinggal di panti asuhan karena dia tidak punya siapa-siapa, dia akan hidup sendiri jika dia mengontrak rumah, dan alasan yang paling kuat dia ingin membantu ibu panti mengurusi anak-anak panti. Sungguh mulia hatinya, tak pernah kutemui wanita seperti dia, dia sungguh mengagumkan dimataku.
Keesokan sorenya aku datang lagi ke panti asuhan, dia sudah menungguku didepan. Dia menyerahkan note padaku “Bisakah kita melakukan wawancara disuatu tempat?”, dia sudah tidak lagi menggunakan bahasa seformal kemarin, karena kita mulai akrab mungkin. Dia mengajakku di rel kereta api dekat panti asuhan. “Kenapa kita kesini ?” tanyaku. Dia memberiku notenya lagi, tapi kali ini tulisannya lebih banyak dari biasanya. 
“Aku mengajakmu kesini karena di sinilah aku kehilangan seluruh keluargaku, ayahku, ibuku, dan adikku. Disini jugalah aku kehilangan suaraku. Kami, aku dan keluargaku saat itu akan pergi ke pantai, tapi jalanan biasanya sangat macet, jadi kami putuskan lewat jalan sempit menyebrangi rel ini. Tiba-tiba mobil yang kami tumpangi mogok tepat di tengah rel ini. Tidak tau kenapa pintu mobil tidak bisa dibuka. Dan tak disangka kereta api sudah menampakkan dirinya. Kami semua ketakutan, dan musibah menerpa kami. Aku tak tahu, saat aku sadar aku sudah diranjang rumah sakit dengan kaki dan tangan digips, saat aku mulai berbicara, tak ada suara sedikitpun yang keluar. Saat itu ada baru berumur 12 tahun, dan aku kehilangan keluargaku, aku kehilangan suaraku. Aku marah pada Tuhan, kenapa Dia memberiku musibah seperti ini. Saat itu aku berpikir harapan bagiku sudah sirna. Aku dikirim ke panti asuhan ini. semuanya gelap, tak ada secercah cahaya bagi masa depanku. Tapi semua itu salah, aku menemukan keluarga baru disini, benar-benar keluarga. Ibu panti, teman-teman, semua keluargaku, karena mereka aku bisa melupakan kesedihanku, karena mereka aku bisa hidup kembali, karena mereka aku bisa bangkit ke dunia lagi, aku mulai bisa menerima kekuranganku. Mereka menerimaku apa adanya diriku. Aku sangat bersyukur akan itu. Aku sadar Tuhan sangat menyayangiku. Tuhan memberikan cobaan ini padaku karena Tuhan tahu aku mampu.”
Aku tidak menyangka hidupnya sesulit ini, dia adalah wanita yang sangat kuat, dia tegar. Dia sekarang berjalan diatas rel, dengan kedua tangan dibentangkan menjaga keseimbangannya, dia terlihat sangat polos. Aku berpikir, keberuntungan menghampiriku karena Tuhan mempertemukanku dengannya. “terimakasih mau berbagi ceritamu padaku, Tuhan sangat menyayangimu”. Ku katakan ini benar-benar tulus dari hatiku. Dia berbalik dan memberikan senyum manisnya padaku.
Aku mengumpulkan laporan penelitianku tepat pada waktunya, dan aku puas akan hasil wawancaraku. Setelah berakhir sudah wawancara kita, kita masih sering bertemu, aku masih sering datang ke panti asuhan untuk menemuinya, untuk membantunya merawat anak-anak. Aku juga mulai belajar bahasa isyarat agar bisa berkomunikasi denganya dengan lancar.  Dia semakin manis dan hatiku semakin berbunga.